Jumat, 09 Februari 2018

BIOFLOC TEKNOLOGI BUDIDAYA PERIKANAN YANG CUKUP MENJANJIKAN


PENDAHULUAN
Teknologi bioflok adalah teknologi yang memanfaatkan hasil metabolisme ikan atau udang yang mengandung nitrogen untuk diubah menjadi protein yang dapat dimanfaatkan oleh ikan atau udang, sehingga ikan atau udang tersebut memperoleh protein tambahan dari bioflok disamping pakan yang diberikan. Akumulasi dari limbah nitrogen (NH4, NO2) akan dicegah oleh bioflok dengan cara menjaga C/N Rasio tetap tinggi dan mendorong penyerapan ammonium oleh mikroba. Hasil dari proses tersebut maka akan membentuk suatu komunitas mikro (bakteri, protozoa, detritus (dead body cell), jamur dan zooplankton) juga partikel serat organik yang kaya akan selulosa, partikel anorganik berupa kristal garam kalsium karbonat hidrat, biopolymer dan PHA.
a.     Pengertian Bioflok
Bioflok atau flok merupakan istilah bahasa slang istilah bahasa baku “Activated Sludge” ( lumpur aktif ) yang diadopsi dari proses pengolahan  biologis air limbah (biological wastewater treatment ).  Investigasi pertama terhadap penerapan Biofloc/activated sludge adalah sejak tahun 1941 pada pengolahan air limbah di Amerika, untuk mensubtitusi penggunaan plankton pada tahap treatment biologi yang dinilai lamban dalam uptake nutrien dan oksidasi nitrogen (ammonia, nitrit ) serta ketidakstabilannya dalam proses. Perkembangan yang sama terjadi pada industri akuakultur, penerapan BFT ( Bio Floc Technology ) mulai digunakan pada industri akuakultur, penerapan BFT ( Bio Floc Technology ) mulai digunakan menggantikan sistem RAS ( Recirculating Aquaculture System ) yang menggunakan pengenceran air yang banyak untuk pengenceran plankton. (Anonim, 2012).
Bioflok adalah teknik pengolahan limbah cair untuk makroagregat yang dihasilkan dalam sistem lumpur aktif. Lumpur aktif dapat pula diibaratkan sebagai ‘sup mikroba’ yang terbentuk dari pemberian aerasi terus-menerus pada biomassa tersuspensi dan mikroorganisme pengurai dalam limbah cair. Jadi, bioflok terdiri atas mikroorganisme (bakteri, ragi, fungi, protozoa, fitoplankton) dan limbah.
Tidak semua bakteri dapat membentuk bioflok dalam air, seperti dari generasi Bacillus hanya dua spesies yang mampu membentuk bioflok.  Salah satu ciri khas bakteri pembentuk bioflocs adalah kemampuannya untuk mensintesa senyawa Poli Hidroksi Alkanoat ( PHA ), terutama yang spesifik seperti poli βhidroksi butirat. Senyawa ini diperlukan sebagai bahan polimer untuk pembentukan ikatan polimer antara substansi substansi pembentuk bioflok.  Bioflok terdiri atas partikel serat organik yang kaya akan selulosa, partikel anorganik berupa kristal garam kalsium karbonat hidrat, biopolymer (PHA), bakteri, protozoa, detritus (dead body cell), ragi, jamur dan zooplankton.  Ada beberapa mikroorganisme yang telah diidentifikasi berfungsi sebagai bioflocculant.
1.    Zooglea ramigera
2.    Escherichia intermedia
3.    Paracolobacterium aerogenoids
4.    Bacillus subtilis
5.    Bacillus cereus
6.    Flavobacterium
7.    Pseudomonas alcaligenes
8.    Sphaerotillus natans
9.    Tetrad dan Tricoda
10. Escherichia intermedia
Terbentuknya bioflok secara ilmiah belum disepakati para
ilmuwan. Akan tetapi hasil kajian terkini menunjukkan arah sebagai berikut.
Mikroorganisme seperti bakteri dengan kemampuan lisis bahan organic
memanfaatkan detritus sebagai makanan. Sel bakteri mensekresikan lendir
metabolit, biopolymer (polisakarida, peptide dan lipid) atau senyawa kombinasi
dan terakumulasi disekitar dinding sel serta detritus. Kesalingtertarikan
antara dinding sel bakteri menyebabkan munculnya flok bacterial. Polimer
ekstraseluler yang dibentuk sendiri oleh bakteri berfungsi sebagai jembatan
penghubung (mampu mencapai panjang 50 um). Dua senyawa biopolymer dengan gugus karboksil (COOH) pada bakteri berbeda membentuk ester dengan ion divalent (Ca Mg). Ikatan-ikatan ini meningkatkan massa kumpulan partikel, menjadikan inti kumpulan bersifat hidrofobik (takut air) dan tepinya bersifat hidrofilik (suka air) sehingga terjadi dewaterisasi (lebih sedikit air di dalam partikel). Kemudian karena ukuran diameter yang semakin besar menjadikan flok mudah terendap.
Selain hal-hal diatas, kandungan bahan organik, oksigen dan pH juga berpengaruh terhadap terbentuknya flok. Pembentukan bioflok berkualitas memerlukan perbandingan C/N/P sekitar 100:5:1.Oksigen terlarut di seluruh bagian air (vertical-horizontal) sebaiknya >4ppm, Kandungan karbon yang terlalu banyak dan kadar oksigen terlarut rendahmenyebabkan berkembangnya bakteri filamen sehingga flok menjadi berkualitas buruk. Flok yang baik memiliki proporsi yang seimbang antara bakteri filamen(berfungsi sebagai rangka flok) dan non-filamen. Berhubungan dengan pH, airyang berpH asam akan menghambat terbentuknya bioflok karena akan mengurangikandungan kation divalent dalam air untuk ikatan esterasi.
Kemampuan bioflok dalam mengontrol konsentrasi ammonia dalam sistem akuakultur secara teoritis maupun aplikasi telah terbukti sangat tinggi. Secara teoritis Ebeling et al. (2006) dan Mara (2004) menyatakan bahwa immobilisasi ammonia oleh heterotrof 40 kali lebih cepat daripada oleh bakteri nitrifikasi. Secara aplikasi de Schryver et al. (2009) menemukan bahwa bioflok yang ditumbuhkan dalam bioreaktor dapat mengkonversi N dengan konsentrasi 110 mg NH4/L hingga 98% dalam sehari.
Pembibitan bioflocs skala kecil dilakukan secara in door, dalam wadah fermentasi tertentu baik dalam drum atau bak fiber. Ke dalam air bersih ( tawar atau asin ) ditambahkan pakan udang dengan konsentrasi 1% , berikut 1% nutrient bakteri yang berupa campuran buffer pH, osmoregulator berupa garam isotonik, vitamin B1, B6, B12 , hormon pembelahan sel dan precursor aktif yang merangsang bakteri untuk mengeluarkan secara intensif enzim, metabolit sekunder dan bakteriosin selama fermentasi berlangsung (nutrient Bacillus spp. 1strain®) serta bibit bakteri baik dari isolat lokal atau bakteri produk komersil berbasis Bacillus spp. yang pasti diketahui mengandung paling tidak bacillus subtilis, sebagai salah satu bakteri pembentuk bioflocs. Campuran diaerasi dan diaduk selama 2448 jam, diusahakan pH bertahan antara 6,0 7,2 sehingga bacillus tetap dalam fasa vegetatifnya, bukan dalam bentuk spora dan PHA tidak terhidolisis oleh asam, sehingga ukuran partikel bioflocs yang dihasilkan berukuran besar, paling tidak berukuran sekitar 100 μm (Anonim, 2012).
b.     Penerapan Sistem Bioflok Dalam Usaha Budidaya Perikanan
Bioflok merupakan flok atau gumpalan-gumpalan kecil yang tersusun dari sekumpulan mikroorganisme hidup yang melayang-layang diair.  Gumpalan tersebut terdiri dari berbagai mikroorganisme air termasuk bakteri, algae, fungi, protozoa, metazoa, rotifera, nematoda, gastrotricha dan organisme lain yang tersuspensi dengan detritus. Teknologi biofloc adalah teknologi yang memanfaatkan aktivitas mikroorganisme yang membentuk flok.
Prinsip Dasar Biofloc Mengubah senyawa organik dan anorganik yang mengandung senyawa kabon (C), hidrogen (H), Oksigen (O), Nitrogen (N) dengan sedikit available posfor (P) menjadi massa sludge berupa bioflocs dengan menggunakan bakteri pembentuk flocs (flocs forming bacteria) yang mensintesis biopolimer polihidroksi alkonaot sebagai ikatan bioflocs.
            Bakteri pembentuk flocs dipilih dari generasi bakteri yang non pathogen, memiliki kemampuan mensintesis PHA, memproduksi enzim ekstraselular, memproduksi bakteriosin terhadap bakteri pathogen, mengeluarkan metabolit sekunder yang menekan pertumbuhan dan menetralkan toksin dari plankton merugikan dan mudah dibiakkan di lapangan. Tidak semua bakteri dapat membentuk biofloc dalam air, seperti dari generasi Bacillus sp hanya dua spesies yang mampu membentuk biolocs.
Salah satu ciri khas bakteri pembentuk bioflocs adalah kemampuannya untuk mensintesa senyawa Poli hidroksi alkanoat (PHA), terutama yang spesifik seperti poli βhidroksi butirat. Senyawa ini diperlukan sebagai bahan polimer untuk pembentukan ikatan polimer antara substansi substansi pembentuk biofloc.
Biofloc terdiri atas partikel serat organik yang kaya akan selulosa, partikel anorganik berupa kristal garam kalsium karbonat hidrat, biopolymer (PHA), bakteri, protozoa, detritus (dead body cell), ragi, jamur dan zooplankton.
Beberapa bakteri  pembentuk floc yang sudah teruji diaplikasikan dilapangan adalah :
-        Achromobacter liquefaciens
-        Arthobacter globiformis
-        Agrobacterium tumefaciens dan
-        Pseudomonas alcaligenes
Bakteri lain dapat ikut membentuk biofloc setelah exopolisakarida dibentuk oleh pembentuk floc sebagai inti floc nya adalah Bacillus circulans, Bacillus coagulans dan Bacillus licheniformis. Bakteri yang ikut membentuk floc ini mempunyai fungsi dalam siklus nutrisi didalam sistem biofloc. Bakteri ini disebut sebagai bakteri siklus fungsional, misalnya Bacillus licheniformis yang berperan dalam siklus nitrogen. 
Sistem biofloc dapat meminimalkan ganti air karena dalam bioflok terdapat proses siklus “auto pemurnian air” (self purifier) yang akan merubah sisa pakan dan kotoran, gas beracun seperti ammonia dan nitrit menjadi senyawa yang tidak berbahaya. Dengan meminimalkan ganti air maka peluang masuknya bibit penyakit dari luar dapat diminimalkan. Sistem biofloc lebih stabil dibandingkan dengan system probiotik biasa dikarenakan biofloc merupakan bakteri yang tidak berdiri sendiri, melainkan berbentuk floc atau kumpulan beberapa bakteri pembentuk floc yang saling bersinergi. Sedangkan system probiotik biasa bakteri yang ada ditambak merupakan sel-sel bakteri yang berdiri sendiri secara terpisah di air, sehingga apabila ada gangguan lingkungan atau gangguan bakteri lain maka bakteri akan cepat kolaps.
c.    Indikator Keberhasilan Pembentukan Biofloc
   Biofloc terbentuk, jika secara visual di dapat warna air kolam coklat muda (krem) berupa gumpalan yang bergerak bersama arus air. pH air cenderung di kisaran 7 (7,2-7,8) dengan kenaikan pH pagi dan sore yang kecil rentangnya kecil yaitu (0,02-0,2). Mulai terjadi penaikan dan penurunan yang dinamis nilai NH4+, ion NO2 dan ion NO3 sebagai indikasi berlangsungnya proses Nitrifikasi dan Denitrifikasi. Untuk 30 hari pertama DOC merupakan masa krusial bagi tahap pembentukan Bioflocs, penerapan “minimal exchange water” pada fase ini sangat menentukan. Lebih baik menghindari penggantian air dalam jumlah besar pada masa ini. Penambahan air hanya untuk penggantian susut karena penguapan dan perembesan saja. Atau menambah secara perlahan ketinggian air dari awal tebar 120 cm menjadi 150 cm secara bertahap selama 30 hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar