PENDAHULUAN
Teknologi
bioflok adalah teknologi yang memanfaatkan hasil metabolisme ikan atau udang
yang mengandung nitrogen untuk diubah menjadi protein yang dapat dimanfaatkan
oleh ikan atau udang, sehingga ikan atau udang tersebut memperoleh protein
tambahan dari bioflok disamping pakan yang diberikan. Akumulasi dari limbah
nitrogen (NH4, NO2) akan dicegah oleh bioflok dengan cara menjaga C/N Rasio
tetap tinggi dan mendorong penyerapan ammonium oleh mikroba. Hasil dari proses
tersebut maka akan membentuk suatu komunitas mikro (bakteri, protozoa, detritus
(dead body cell), jamur dan zooplankton) juga partikel serat organik yang kaya
akan selulosa, partikel anorganik berupa kristal garam kalsium karbonat hidrat,
biopolymer dan PHA.
a.
Pengertian
Bioflok
Bioflok atau flok merupakan istilah
bahasa slang istilah bahasa baku
“Activated Sludge” ( lumpur aktif ) yang diadopsi dari proses pengolahan biologis air limbah (biological wastewater treatment ). Investigasi pertama terhadap penerapan
Biofloc/activated sludge adalah sejak tahun 1941 pada pengolahan air limbah di
Amerika, untuk mensubtitusi penggunaan plankton pada tahap treatment biologi
yang dinilai lamban dalam uptake nutrien dan oksidasi nitrogen (ammonia, nitrit
) serta ketidakstabilannya dalam proses. Perkembangan yang sama terjadi pada
industri akuakultur, penerapan BFT ( Bio Floc Technology ) mulai digunakan pada
industri akuakultur, penerapan BFT ( Bio Floc Technology ) mulai digunakan
menggantikan sistem RAS ( Recirculating Aquaculture System ) yang menggunakan
pengenceran air yang banyak untuk pengenceran plankton. (Anonim, 2012).
Bioflok adalah teknik pengolahan limbah cair untuk
makroagregat yang dihasilkan dalam sistem lumpur aktif. Lumpur aktif dapat pula
diibaratkan sebagai ‘sup mikroba’ yang terbentuk dari pemberian aerasi
terus-menerus pada biomassa tersuspensi dan mikroorganisme pengurai dalam
limbah cair. Jadi, bioflok terdiri atas mikroorganisme (bakteri, ragi, fungi,
protozoa, fitoplankton) dan limbah.
Tidak semua bakteri
dapat membentuk bioflok dalam air, seperti dari generasi Bacillus hanya dua spesies yang mampu membentuk
bioflok. Salah satu ciri khas bakteri
pembentuk bioflocs adalah kemampuannya untuk mensintesa senyawa Poli Hidroksi Alkanoat
( PHA ), terutama yang spesifik seperti poli β‐hidroksi butirat. Senyawa ini diperlukan sebagai bahan
polimer untuk pembentukan ikatan polimer antara substansi substansi pembentuk
bioflok. Bioflok terdiri atas partikel serat organik yang kaya akan
selulosa, partikel anorganik berupa kristal garam kalsium karbonat hidrat,
biopolymer (PHA), bakteri, protozoa, detritus (dead body cell), ragi, jamur dan
zooplankton. Ada beberapa mikroorganisme yang telah
diidentifikasi berfungsi sebagai bioflocculant.
1. Zooglea ramigera
2. Escherichia
intermedia
3. Paracolobacterium
aerogenoids
4. Bacillus
subtilis
5. Bacillus
cereus
6. Flavobacterium
7. Pseudomonas
alcaligenes
8. Sphaerotillus
natans
9. Tetrad dan
Tricoda
10. Escherichia
intermedia
Terbentuknya
bioflok secara ilmiah belum disepakati para
ilmuwan. Akan tetapi hasil kajian terkini menunjukkan arah sebagai berikut.
Mikroorganisme seperti bakteri dengan kemampuan lisis bahan organic
memanfaatkan detritus sebagai makanan. Sel bakteri mensekresikan lendir
metabolit, biopolymer (polisakarida, peptide dan lipid) atau senyawa kombinasi
dan terakumulasi disekitar dinding sel serta detritus. Kesalingtertarikan
antara dinding sel bakteri menyebabkan munculnya flok bacterial. Polimer
ekstraseluler yang dibentuk sendiri oleh bakteri berfungsi sebagai jembatan
penghubung (mampu mencapai panjang 50 um). Dua senyawa biopolymer dengan gugus karboksil (COOH) pada bakteri berbeda membentuk ester dengan ion divalent (Ca Mg). Ikatan-ikatan ini meningkatkan massa kumpulan partikel, menjadikan inti kumpulan bersifat hidrofobik (takut air) dan tepinya bersifat hidrofilik (suka air) sehingga terjadi dewaterisasi (lebih sedikit air di dalam partikel). Kemudian karena ukuran diameter yang semakin besar menjadikan flok mudah terendap.
ilmuwan. Akan tetapi hasil kajian terkini menunjukkan arah sebagai berikut.
Mikroorganisme seperti bakteri dengan kemampuan lisis bahan organic
memanfaatkan detritus sebagai makanan. Sel bakteri mensekresikan lendir
metabolit, biopolymer (polisakarida, peptide dan lipid) atau senyawa kombinasi
dan terakumulasi disekitar dinding sel serta detritus. Kesalingtertarikan
antara dinding sel bakteri menyebabkan munculnya flok bacterial. Polimer
ekstraseluler yang dibentuk sendiri oleh bakteri berfungsi sebagai jembatan
penghubung (mampu mencapai panjang 50 um). Dua senyawa biopolymer dengan gugus karboksil (COOH) pada bakteri berbeda membentuk ester dengan ion divalent (Ca Mg). Ikatan-ikatan ini meningkatkan massa kumpulan partikel, menjadikan inti kumpulan bersifat hidrofobik (takut air) dan tepinya bersifat hidrofilik (suka air) sehingga terjadi dewaterisasi (lebih sedikit air di dalam partikel). Kemudian karena ukuran diameter yang semakin besar menjadikan flok mudah terendap.
Selain hal-hal
diatas, kandungan bahan organik, oksigen dan pH juga berpengaruh terhadap
terbentuknya flok. Pembentukan bioflok berkualitas memerlukan perbandingan
C/N/P sekitar 100:5:1.Oksigen terlarut di seluruh bagian air (vertical-horizontal)
sebaiknya >4ppm, Kandungan karbon yang terlalu banyak dan kadar oksigen
terlarut rendahmenyebabkan berkembangnya bakteri filamen sehingga flok menjadi
berkualitas buruk. Flok yang baik memiliki proporsi yang seimbang antara
bakteri filamen(berfungsi sebagai rangka flok) dan non-filamen. Berhubungan
dengan pH, airyang berpH asam akan menghambat terbentuknya bioflok karena akan
mengurangikandungan kation divalent dalam air untuk ikatan esterasi.
Kemampuan bioflok dalam mengontrol konsentrasi ammonia
dalam sistem akuakultur secara teoritis maupun aplikasi telah terbukti sangat
tinggi. Secara teoritis Ebeling et al. (2006) dan Mara (2004)
menyatakan bahwa immobilisasi ammonia oleh heterotrof 40 kali lebih cepat
daripada oleh bakteri nitrifikasi. Secara aplikasi de Schryver et
al. (2009) menemukan bahwa bioflok yang ditumbuhkan dalam bioreaktor
dapat mengkonversi N dengan konsentrasi 110 mg NH4/L hingga 98% dalam sehari.
Pembibitan bioflocs
skala kecil dilakukan secara in door, dalam wadah fermentasi tertentu baik
dalam drum atau bak fiber. Ke dalam air bersih ( tawar atau asin ) ditambahkan
pakan udang dengan konsentrasi 1% , berikut 1% nutrient bakteri yang berupa
campuran buffer pH, osmoregulator berupa garam isotonik, vitamin B1, B6, B12 ,
hormon pembelahan sel dan precursor aktif yang merangsang bakteri untuk
mengeluarkan secara intensif enzim, metabolit sekunder dan bakteriosin selama
fermentasi berlangsung (nutrient Bacillus spp. 1strain®) serta bibit bakteri
baik dari isolat lokal atau bakteri produk komersil berbasis Bacillus spp. yang
pasti diketahui mengandung paling tidak bacillus subtilis, sebagai salah satu
bakteri pembentuk bioflocs. Campuran diaerasi dan diaduk selama 24‐48 jam, diusahakan pH bertahan antara 6,0 ‐7,2 sehingga bacillus tetap dalam fasa vegetatifnya,
bukan dalam bentuk spora dan PHA tidak terhidolisis oleh asam, sehingga ukuran
partikel bioflocs yang dihasilkan berukuran besar, paling tidak berukuran
sekitar 100 μm (Anonim, 2012).
b.
Penerapan Sistem Bioflok Dalam Usaha Budidaya
Perikanan
Bioflok merupakan
flok atau gumpalan-gumpalan kecil yang tersusun dari sekumpulan mikroorganisme
hidup yang melayang-layang diair. Gumpalan tersebut terdiri dari berbagai
mikroorganisme air termasuk bakteri, algae, fungi, protozoa, metazoa, rotifera,
nematoda, gastrotricha dan organisme lain yang tersuspensi dengan detritus. Teknologi biofloc
adalah teknologi yang memanfaatkan aktivitas mikroorganisme yang membentuk
flok.
Prinsip Dasar Biofloc
Mengubah senyawa organik dan anorganik yang mengandung senyawa kabon (C),
hidrogen (H), Oksigen (O), Nitrogen (N) dengan sedikit available posfor (P)
menjadi massa sludge berupa bioflocs dengan menggunakan bakteri pembentuk flocs
(flocs forming bacteria) yang mensintesis biopolimer polihidroksi alkonaot sebagai
ikatan bioflocs.
Bakteri pembentuk flocs dipilih dari generasi bakteri yang non pathogen, memiliki kemampuan mensintesis PHA, memproduksi enzim ekstraselular, memproduksi bakteriosin terhadap bakteri pathogen, mengeluarkan metabolit sekunder yang menekan pertumbuhan dan menetralkan toksin dari plankton merugikan dan mudah dibiakkan di lapangan. Tidak semua bakteri dapat membentuk biofloc dalam air, seperti dari generasi Bacillus sp hanya dua spesies yang mampu membentuk biolocs.
Bakteri pembentuk flocs dipilih dari generasi bakteri yang non pathogen, memiliki kemampuan mensintesis PHA, memproduksi enzim ekstraselular, memproduksi bakteriosin terhadap bakteri pathogen, mengeluarkan metabolit sekunder yang menekan pertumbuhan dan menetralkan toksin dari plankton merugikan dan mudah dibiakkan di lapangan. Tidak semua bakteri dapat membentuk biofloc dalam air, seperti dari generasi Bacillus sp hanya dua spesies yang mampu membentuk biolocs.
Salah satu ciri khas
bakteri pembentuk bioflocs adalah kemampuannya untuk mensintesa senyawa Poli
hidroksi alkanoat (PHA), terutama yang spesifik seperti poli β‐hidroksi butirat. Senyawa ini diperlukan sebagai bahan
polimer untuk pembentukan ikatan polimer antara substansi substansi pembentuk
biofloc.
Biofloc terdiri atas partikel serat organik yang kaya
akan selulosa, partikel anorganik berupa kristal garam kalsium karbonat hidrat,
biopolymer (PHA), bakteri, protozoa, detritus (dead body cell), ragi, jamur dan
zooplankton.
Beberapa bakteri pembentuk floc yang sudah teruji diaplikasikan
dilapangan adalah :
-
Achromobacter liquefaciens
-
Arthobacter globiformis
-
Agrobacterium tumefaciens
dan
-
Pseudomonas alcaligenes
Bakteri lain dapat ikut
membentuk biofloc setelah exopolisakarida dibentuk oleh pembentuk floc sebagai inti
floc nya adalah Bacillus circulans, Bacillus coagulans dan Bacillus
licheniformis. Bakteri yang ikut membentuk floc ini mempunyai fungsi dalam
siklus nutrisi didalam sistem biofloc. Bakteri ini disebut sebagai bakteri
siklus fungsional, misalnya Bacillus licheniformis yang berperan dalam siklus
nitrogen.
Sistem biofloc dapat
meminimalkan ganti air karena dalam bioflok terdapat proses siklus “auto
pemurnian air” (self purifier) yang akan merubah sisa pakan dan kotoran, gas
beracun seperti ammonia dan nitrit menjadi senyawa yang tidak berbahaya. Dengan
meminimalkan ganti air maka peluang masuknya bibit penyakit dari luar dapat
diminimalkan. Sistem biofloc lebih stabil dibandingkan dengan system probiotik
biasa dikarenakan biofloc merupakan bakteri yang tidak berdiri sendiri,
melainkan berbentuk floc atau kumpulan beberapa bakteri pembentuk floc yang
saling bersinergi. Sedangkan system probiotik biasa bakteri yang ada ditambak
merupakan sel-sel bakteri yang berdiri sendiri secara terpisah di air, sehingga apabila ada
gangguan lingkungan atau gangguan bakteri lain maka bakteri akan cepat kolaps.
c. Indikator Keberhasilan
Pembentukan Biofloc
Biofloc
terbentuk, jika secara visual di dapat warna air kolam coklat muda (krem)
berupa gumpalan yang bergerak bersama arus air. pH air cenderung di kisaran 7
(7,2-7,8) dengan kenaikan pH pagi dan sore yang kecil rentangnya kecil yaitu
(0,02-0,2). Mulai terjadi penaikan dan penurunan yang dinamis nilai NH4+, ion
NO2‐ dan ion NO3‐ sebagai
indikasi berlangsungnya proses Nitrifikasi dan Denitrifikasi. Untuk 30 hari
pertama DOC merupakan masa krusial bagi tahap pembentukan Bioflocs, penerapan
“minimal exchange water” pada fase ini sangat menentukan. Lebih baik
menghindari penggantian air dalam jumlah besar pada masa ini. Penambahan air
hanya untuk penggantian susut karena penguapan dan perembesan saja. Atau menambah
secara perlahan ketinggian air dari awal tebar 120 cm menjadi 150 cm secara bertahap selama 30 hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar